Amunisi berpandu presisi (PGM—precision-guided munition, senjata pintar, amunisi pintar) adalah amunisi yang memiliki sistem pemandu internal yang memandu rudal atau bom untuk mengenai sasaran yang dituju secara spesifik, dengan tujuan mengurangi kerusakan yang tak diinginkan.
Karena efek kerusakan senjata berpeledak akan berkurang seiring bertambahnya jarak akibat hukum kuadrat terbalik, peningkatan akurasi bahkan yang sedikit sekalipun akan mengurangi jumlah atau kekuatan bom yang diperlukan untuk menyerang sebuah sasaran. Maka dari itu, bahkan jika beberapa bom berpandu meleset dari sasarannya, risiko mengenai penduduk sipil dan jumlah kerusakan yang tak diinginkan akan berkurang.
Jerman merupakan negara pertama yang mengenalkan PGM dalam pertempuran, melalui KG 100 yang menjatuhkan bom gravitasi lapis baja Fritz X seberat 1.400 kg yang dipandu oleh sistem radio pemandu Kehl-Straßburg.[1]
Pada Perang Dunia II, National Defense Research Committee Amerika Serikat mengembangkan bom VB-6 Felix yang menggunakan inframerah untuk menjejak kapal laut. Ketika bom ini diproduksi pada tahun 1945, bom ini tidak pernah digunakan secara operasional.[1] Pemandu presisi telah diaplikasikan pada persejataan selain hulu ledak bom konvensional.
Pada 1962, AD Amerika Serikat memulai penelitian sistem pemandu laser dan pada 1967, USAF mengadakan evauasi kompetitif yang menghasilkan bom berpandu laser pertama di dunia, BOLT-117, pada 1968. Semua bom berpandu laser bekerja dalam cara yang sama, mengandalkan sasaran yang disinari oleh penanda laser di darat atau pesawat. Bom ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat digunakan dalam kondisi cuaca yang buruk, ketika iluminasi sasaran tidak dapat terlihat, atau ketika penanda sasaran tidak dapat mendekatinya.
Senjata anti-tank ringan Hellfire II buatan Lockheed-Martin menggunakan radar pada Boeing AH-64D Apache Longbow untuk menyediakan pemanduan tembak-dan-lupakan terhadap senjata tersebut.
Pelajaran yang didapatkan dari Perang Teluk Pertama menunjukkan pentingnya amunisi presisi, sekaligus kesulitan-kesulitan dalam menggunakannya, terutama ketika pengelihatan terhadap tanah atau sasaran dari udara terganggu.[2] Masalah pengelihatan tidak memengaruhi senjata berpandu satelit seperti Joint Direct Attack Munition (JDAM) atau Joint Stand-Off Weapon (JSOW) yang menggunakan sistem satelit GPS untuk memandunya. Senjata ini dapat digunakan dalam segala kondisi cuaca tanpa perlu bantuan unit darat.
"Smart bombs" missed Iraqi targets BBC story on the first employment of the JSOW, guidance failures were attributed to a software error that was subsequently fixed.